Bukan Ainun-nya Habibi?!
Namaku Nuraini, sering di panggil ainun. Aku lahir di Lereng Gunung di Sumatera Barat. Saat kelahiranku Negara Indonesia Masih dalam keadaan Penjajahan, dimana saat itu Belanda masih berkuasa di Indonesia dan di sambut oleh penjajahan Jepang. Tulisan ini adalah, coretan kecil dari Diary ku..
1945
Di saat aku berumur 6 th
Ainun…ainunnn..
Masih teringat jelas di fikiran ku saat ayah berlari memanggilku dan langsung menggendongku ke pelukannya. Di saat itu, adalah hari dimana Negara Indonesia Merdeka dari Penjajahan Belanda dan Jepang. Ayah sangat bergembira saat mendengar kemerdekaan Negara Indonesia.
Aku hanya menatap ayah sambil tersenyum dan juga ikut merasa senang. Ya, aku selalu nomor satu di mata ayahku, aku adalah anak kesayangan ayah. Walaupun aku memiliki 4 saudara lainnya, aku selalu di nomor 1 kan oleh ayahku. Bukan berarti aku anak bungsu atau anak pertama, tapi aku adalah anak tengah, anak nomor 3 dari 5 bersaudara.
Bukannya aku sombong, tetapi aku adalah anak Tercantik dari saudari-saudariku yang lain.
1949
“Ainun.. baa rambuik kau go,, karitiang…!!”
Teriakan seorang teman lelaki yang menjahiliku.
“Manga den ang galakkan,, kan ndak manggaduah rambuik den ka ang mah”
Sambil menangis tersedu- sedu aku menjawab kejahilan yg dia lakukan.
Namanya Basri, dia adalah seorang anak yang sering menjahiliku.
1952
“Ainun,,Antaan nasi ka sawah, abak kau manyabik kini, lah ka tangah hari lo ha, lah kalitakkan abak kau di sawah go. (Teriakan ibuku dari dapur.)
“Iyo mak, den antaan kini”. (Sambil membawa rantang nasi.)
“Capek yo nak, lah naik lo matoari ko ha”.
“Baa jano den leh mak, bialah balari den ma anta no mak. (Sambil berlari-lari kecil menuju sawah di lereng gunung Singgalang.)
Sesampainya di sawah, langkahku terhenti sejenak, dan aku tertegun melihat sesosok yg aku kenal.
“Eh, Basri tu mah nan manolongan abak, batambah gagah se nyo nampak dek den. (Dalam hati dan fikiranku).
Aku pun melanjutkan langkahku dengan lambat, seiring mengatur nafas dan gejolak hatiku yg menggebu-gebu. Ada sedikit kilatan kecil yg terasa di hatiku.
“Abak,,,Barangah lah dulu, lah den bawoan abak nasi, makan lah abak dulu. Kataku ke ayah yang masih sibuk memanen padi sambil meletakkan membuka rantang makanan.
” Baa kok lamo bana inun tibo? Lah kalitakkan ayah jo basri manunggu sajak cako lai.” Jawab ayah sambil duduk dan di iringi oleh Basri.
“Amak baru salasai batanak bak, baru lo talakik maantaan kini.( Jawabku.)
“Eh ado inun mah,,”. (Suara Basri mengejutkanku)
“Eh iyo Basri. (Sambil menunduk tersipu malu)
“Lai takana jo inun jo kawan nun, sangkek sekolah di sekolah rakyat dulu?”( Tanya ayahku)
“Lai bak,, bialah inun pulang dulu bak, cako lai jo karajo di rumah di sarayoan dek amak”(selaku agar sambil menunduk agar wajah merah ku tidak terliahat)
“Ha iyolah, pai lah lai. (Jawab ayah)
Sambil melirik Basri yang menatapku dari tadi, aku langsung berpaling dan pulang.
1955
Di tahun ini usiaku sudah beranjak 16 th di mana saat itu aku sudah di anggap siap untuk menikah. Di Minang pada zaman itu, anak gadis yg sudah berusia 16 th termasuk gadis yg sudah sulit untuk mendapatkan jodoh karena sudah melewati umur 15 th. Sebenarnya sudah banyak lelaki yang ingin meminangku, tetapi aku menolak. Aku adalah Kembang Desa di tempatku tinggal, sehingga banyak lelaki yang meminangku dari kalangan atas. Namun sayang, hatiku sudah terpanah oleh lelaki yang ku temui di sawah waktu itu.
Ya, setelah pertemuan tak terduga di sawah waktu itu, aku dan basri merasakan hal yang sama, setiap hari kami selalu berkirim syair melalui surat, walaupun tempat tinggal kami tidak jauh.
Di zaman itu, tidaklah boleh lelaki dan perempuan untuk berdua-duan , karena akan mencoreng nama baik keluarga.
Kami selalu berbagi cerita melalui surat, sehingga Basri sudah memantapkan hatinya untuk meminangku di tahun yang akan datang.
1956
Tahun ini usiaku memasuki 17 th, di mana tahun ini aku sudah siap untuk menikah dan sudah tidak sabar menunggu Basri meminangku.
Tapi…
Bersambung….