Bukan Ainun-nya Habibi?!
Hari ini, adalah hari aku menikah. Basri memanggilku di balik jendela dengan tatapan sayu namun penuh keteguhan hati.
” Nun,,den ndak kayo, den ndak bisa mamastian kau bisa sanang suak, tapi den bisa mausahoan apo kandak nan kau nio.! Ucap Basri.
Aku menangis tersedu mendengar ucapannya tanpa bisa berkata apapun.
“Nun jikok kau kareh jo den, kini ko juo awak tinggaan kampuang ko! Kata Basri sambil mengulurkan tangan.
Aku hanya bisa menangis memikirkan orang tuaku yang akan malu saat aku pergi, aku hanya memikirkan orang tuaku, dan hanya bisa berkata pada Basri,
” Maafan den Basri,,,” sambil terisak-isak mengucapkan kata sangat memilukan hatiku dan juga hatinya.
Di saat itu juga basri dengan lunglai berbalik dan berjalan meninggalkanku tanpa menoleh kebelakang lagi…
Setelah Basri menghilang dari pandanganku, terdengarlah ijab kabul dari ruang tamu yang menandakan aku sudah sah menjadi istri orang.
Datanglah ibuku ke dalam kamar menggenggam tanganku untuk duduk di luar bertemu suamiku. Dunia ku sudah hancur di saat kepergian Basri aku hanya mengikuti apa yang dikatakan orang tuaku…

 
																				








