Di sebuah desa kecil, berdirilah sebuah sekolah sederhana dengan dinding kayu dan atap seng. Di sana mengajar seorang guru tua bernama Pak Rahman, yang rambutnya sudah memutih namun semangatnya tak pernah padam. Baginya, mendidik adalah ibadah, dan murid-murid adalah titipan yang harus ia jaga dengan sepenuh hati.
Di antara murid-muridnya, ada seorang anak bernama Aldi. Ia rajin datang ke sekolah, tetapi sering datang dengan baju yang lusuh dan sandal yang sudah bolong. Meski begitu, matanya selalu berbinar setiap kali pelajaran dimulai. Aldi bercita-cita menjadi dokter agar bisa membantu orang-orang di desanya.
Suatu hari, Pak Rahman melihat Aldi duduk termenung di sudut kelas. Saat ditanya, Aldi menunduk, “Pak, sepertinya saya tidak bisa lanjut sekolah… Ayah sudah lama sakit, Ibu tidak mampu membeli buku dan seragam lagi. Saya harus bekerja membantu keluarga.”
Pak Rahman terdiam sejenak. Ada perih di hatinya, karena ia tahu betapa besar keinginan Aldi untuk belajar. Dengan suara lembut, ia berkata,
“Anakku, jangan biarkan kesulitan membuatmu menyerah. Bukumu biar Bapak yang belikan, seragammu biar Bapak carikan. Yang penting, kau tetap sekolah. Ilmu itu cahaya, dan tugas guru menjaga agar cahaya itu tidak padam.”
Sejak hari itu, Pak Rahman diam-diam menyisihkan gajinya yang tak seberapa untuk membantu Aldi. Ia bahkan rela berjalan kaki pulang agar bisa menabung sedikit demi sedikit. Aldi pun bisa melanjutkan sekolah, berkat kasih sayang seorang guru yang tidak hanya mengajar dengan kata-kata, tetapi juga dengan ketulusan hati.
Tahun demi tahun berlalu. Aldi tumbuh menjadi murid yang berprestasi hingga akhirnya berhasil meraih beasiswa kuliah kedokteran. Pada hari perpisahan sekolah, dengan air mata yang menetes di pipinya, Aldi memeluk Pak Rahman erat-erat.
“Pak… tanpa Bapak, saya mungkin sudah berhenti sekolah. Terima kasih karena Bapak tidak hanya mengajarkan saya membaca dan menulis, tapi juga mengajarkan arti sebuah perjuangan.”
Pak Rahman tersenyum haru, menepuk bahu muridnya sambil berbisik,
“Jangan ucapkan terima kasih padaku, Nak. Jadilah cahaya bagi orang lain. Itulah cara terbaik untuk membalas budi seorang guru.”
Dan benar, bertahun-tahun kemudian, ketika Aldi telah menjadi seorang dokter, ia kembali ke desanya. Di sana ia membangun klinik kecil untuk masyarakat. Pada dinding klinik itu, ia menggantung sebuah foto Pak Rahman dengan tulisan:
“Untuk guruku tercinta, yang telah menyalakan cahaya di hidupku. Tanpa beliau, aku hanyalah anak desa yang hampir kehilangan mimpinya.”